Kalimaya: Ratu Batu Mulia dari Bumi Lebak
Dunia mengenalnya sebagai opal, namun di Indonesia, terutama di Banten, batu mulia ini lebih akrab disebut Kalimaya. Pesonanya sudah dikenal sejak ribuan tahun lalu, membuatnya dijuluki sebagai ratu batu mulia. Keindahan warna-warni yang terpantul di permukaannya memukau siapa saja yang menatapnya.
Dalam sejarah, tercatat Ratu Mesir Cleopatra yang hidup antara tahun 69–30 SM, pernah mengenakan cincin bertahtakan opal. Batu itu bukan sekadar hiasan, melainkan simbol cinta, hadiah dari kekasihnya, Panglima Romawi Marc Anthony. Berabad-abad kemudian, pada era modern, Pemerintah Australia pun menjadikan opal sebagai persembahan untuk Ratu Inggris Elizabeth II—sekalung batu opal seberat lebih dari 200 karat, sebagai bentuk penghormatan dan diplomasi budaya.
Kalimaya: Batu Mulia, Bukan Permata
Walau secara teknis tidak tergolong batu permata seperti intan, rubi, safir, atau zamrud, Kalimaya tetap memiliki tempat tersendiri di hati para pecinta batu mulia. Keunikan kristal warnanya, dari pelangi yang menari di dalam batu, menjadikannya incaran kolektor dan perajin perhiasan dari seluruh dunia.
Indonesia, khususnya Kabupaten Lebak di Provinsi Banten, dikenal sebagai salah satu penghasil Kalimaya terbaik. Kandungan mineral ini terbentuk dari proses pelapukan silika yang terendap dalam perut bumi dan mengandung air antara 3 hingga 20 persen. Karena tidak mengalami pemanasan ekstrem seperti permata lain, Kalimaya bersifat lebih lunak dengan tingkat kekerasan sekitar 5,5 hingga 6,5 skala Mohs. Inilah yang menjadikannya batu mulia dengan perlakuan khusus.
Dari Kali Maja ke Dunia
Nama Kalimaya dipercaya berasal dari Kali Maja, sebuah lokasi di Kabupaten Lebak tempat batu ini pertama kali ditemukan. Aktivitas vulkanik tinggi di Pulau Jawa yang dilalui sabuk gunung api membuat kawasan ini kaya akan mineral langka—salah satunya Kalimaya.
Di Desa Ciburuy, Kecamatan Curug Bitung, ratusan warga kini beralih profesi menjadi penambang batu Kalimaya. Dalam setahun terakhir, tren batu mulia mendorong geliat ekonomi desa ini. Lubang-lubang sedalam belasan meter mereka gali untuk mengais harapan dari kedalaman bumi. Batu ini kemudian diolah oleh para perajin berbakat, disulap menjadi cincin, liontin, atau koleksi eksklusif bernilai tinggi.
Pesona yang Tak Terbantahkan
Tak peduli latar belakang, Kalimaya mampu memikat semua kalangan. Bahkan tokoh publik sekelas Rano Karno—mantan Gubernur Banten—dikenal sebagai kolektor dan promotor batu Kalimaya. Ia kerap menghadiahkannya kepada kolega sebagai bentuk kebanggaan atas kekayaan alam daerahnya. Batu ini bukan sekadar hiasan, tapi juga simbol jati diri dan potensi lokal.
Tingginya minat pasar menjadikan Kalimaya sebagai sumber nafkah baru. Permintaan yang terus meningkat membuat para penambang dan perajin menggantungkan harapan dari batu ini. Tak jarang, Kalimaya berkualitas tinggi bisa dihargai hingga ratusan juta rupiah per butir.
Ancaman di Balik Kilau
Namun, di balik kemilau Kalimaya, terselip tantangan besar: ancaman terhadap kelestarian lingkungan. Aktivitas penambangan yang dilakukan secara tradisional dan tidak terkontrol berisiko menimbulkan kerusakan ekologis. Galian tanah sembarangan membentuk rongga-rongga besar di dalam tanah yang dapat menyebabkan longsor, erosi, bahkan pencemaran air tanah.
Tak hanya itu, sebagian area penghasil Kalimaya di Lebak juga terancam tenggelam oleh proyek pembangunan Waduk Karian. Mega proyek ini akan merelokasi 11 desa di empat kecamatan—Rangkasbitung, Cimarga, Sajira, dan Maja—yang notabene merupakan sentra batu Kalimaya. Jika tidak dikelola dengan bijak, proyek ini bisa menghilangkan mata pencaharian warga dan meredupkan masa depan Kalimaya sebagai komoditas unggulan daerah.
Antara Mitos dan Keyakinan
Menariknya, proses pencarian Kalimaya sering dibumbui kepercayaan mistis. Banyak penambang percaya bahwa lokasi terbaik hanya bisa ditemukan melalui penerawangan gaib. Sebelum menggali, mereka melakukan berbagai ritual dan memohon perlindungan agar terhindar dari bahaya. Hal ini menunjukkan bahwa bagi masyarakat lokal, Kalimaya bukan sekadar batu, melainkan entitas yang dihormati.
Menjaga Warisan, Merawat Alam
Kini, saatnya semua pihak—pemerintah, masyarakat, dan pecinta batu mulia—berpikir lebih bijak. Kalimaya adalah aset berharga yang tak hanya memiliki nilai ekonomi, tetapi juga nilai budaya dan identitas lokal. Pengelolaan tambang secara berkelanjutan, edukasi penambang, serta inovasi dalam teknik pengolahan menjadi kunci untuk memastikan Kalimaya tetap bersinar tanpa merusak bumi tempatnya berasal.
Kilau Kalimaya memang menggoda. Namun sejatinya, batu ini mengajarkan kita bahwa keindahan sejati adalah yang tak merusak asalnya. Dan dalam tiap cahaya pelangi yang terperangkap di dalamnya, ada harapan bahwa manusia dan alam dapat hidup berdampingan—dalam harmoni, bukan eksploitasi.

Tidak ada komentar: